hover animation preload

Hambatan Menulis
by Wisma Widhi in

Hambatan dalam Menulis

Dalam buku Main-Main dengan Teks (Kaifa, cetakan ke-2, 2005), saya mengidentifikasi pelbagai hambatan menulis dalam dua bentuk, yaitu hambatan yang bersifat internal dan eskternal.
Kemudian, dua jenis hambatan tersebut memendam dua hambatan lain, yaitu yang bersifat teknis dan nonteknis.
Saya kadang lebih menekankan untuk mengatasi terlebih dahulu hambatan internal dan hambatan nonteknis. Sebab jika hambatan ini tak dipecahkan tuntas, ada kemungkinan besar kita belum dapat mengatasi hambatan utama menulis, meski hambatan teknis sudah kita pecahkan.
Hambatan internal adalah hambatan menulis yang ada di dalam diri si calon penulis. Sebagian besar hambatan internal bersifat nonteknis. Contohnya adalah munculnya rasa malas untuk berlatih menulis, tidak memiliki motivasi untuk habis-habisan menulis, atau senantiasa tidak puas (merasa tidak percaya diri) dengan hasil tulisannya. Bisa jadi, seorang penulis yang memiliki hambatan internal ini sudah memiliki kemampuan atau, bahkan, bakat menulis. Namun, kemampuan atau bakat menulis yang dimilikinya itu akhirnya tidak dapat digunakan karena hambatan internal yang tak terpecahkan.
Hambatan eksternal adalah hambatan yang disebabkan oleh syarat-syarat yang dimunculkan oleh pihak kedua atau pihak di luar diri sang penulis. Hambatan eksternal ini biasanya berupa aturan dan sebagian besar harus di penuhi oleh si penulis dengan cara meningkatkan keterampilan menulisnya. Jadi, sifatnya lebih pada persoalan teknis. Contoh hambatan eksternal ini, misalnya, adalah kalimat yang tidak memenuhi kaidah-kaidah kebahasaan, bahasa-tulis yang tidak mengalir dan sangat membosankan, atau, bahkan, kadang adanya kehampaan ide (ide yang dikandung dalam tulisan tidak baru dan tidak ada kesegaran atau terobosan).
Tentu, ada banyak sekali jenis hambatan menulis yang pernah dialami oleh setiap calon penulis. Dalam tulisan ini tentu tidak dapat disebutkan satu per satu secara detail. Ada kalanya, hambatan menulis itu sangat khas atau unik dan hanya muncul pada beberapa penulis.
Namun, ada juga hambatan menulis yang universal, artinya dialami oleh hampir semua calon penulis. Salah satu syarat menjadi penulis hebat yang berkarakter adalah berani dan mampu mengatasi hambatan-hambatan menulis. Dan kadang-kadang solusi untuk mengatasi suatu jenis hambatan menulis bergantung hampir mutlak pada kemauan.
Bagaimana mengatasi hambatan menulis?
***
Jika ada banyak sekali hambatan menulis, tentu ada banyak sekali juga cara mengatasi hambatan menulis. Saya ingin memperkenalkan dua cara mengatasi hambatan menulis yang sering dialami oleh para penulis.
Cara pertama saya sebut metode ”mengikat makna”, terutama untuk mengatasi hambatan menulis berupa rasa malas atau tiadanya motivasi menulis. Cara kedua saya sebut teknik ”clustering”, dan teknik ini terutama untuk mengatasi sulitnya mengembangkan ide.
Mengikat Makna akan menunjukkan kepada siapa saja, yang ingin menerjuni dunia baca-tulis, bahwa membaca memerlukan menulis dan menulis memerlukan membaca. Benar, jika ada orang yang ingin menjalankan kegiatan membaca saja atau menulis saja pastilah tidak akan ada yang melarang.
Namun, lewat pengalaman saya yang saya bukukan dalam Mengikat Makna, ternyata jika kita selesai membaca sesuatu dan kita tidak mencoba melanjutkannya dengan “mengikat” (menuliskan) apa-apa yang kita baca, ada kemungkinan yang kita baca itu akan mudah sekali lenyap. Dengan “mengikat”, secara otomatis, kita pun kemudian dapat memperkaya diri kita dengan kata-kata. Hal terakhir ini sangat-sangatlah penting.
Diri yang sudah kaya akan kata-kata ini kemudian akan mudah sekali menjalankan kegiatan menulis. Hal ini dikarenakan jika membaca dapat diartikan sebagai memasukkan kata-kata ke dalam diri, menulis adalah mengeluarkan apa saja yang disimpan oleh diri dengan bantuan kata-kata. Jika kita miskin kata, otomatis kegiatan menulis akan menyiksa kita. Jadi, “mengikat makna” akan mengefektifkan kegiatan membaca sekaligus meningkatkan keterampilan menulis.
Mengikat Makna juga mengarahkan seorang penulis untuk senantiasa menuliskan apa-apa yang penting dan berharga bagi dirinya. Jadi, bacalah buku dan ambillah dari buku itu sesuatu yang berharga. Setelah mendapatkan sesuatu yang berharga, “ikatlah” (tulislah) agar yang berharga itu tidak musnah. “Sesuatu itu menjadi bermakna jika sesuatu itu memang penting dan berharga bagi diri pribadi,” demikian Kamus Webster mendefinisikan apa arti makna.
Makna memang terkait dengan diri pribadi. Kegiatan “mengikat makna” adalah kegiatan yang sangat pribadi. Kegiatan yang memadukan membaca dan menulis ini harus dilakukan di “ruang privat”. Ketika Anda menjalankan kegiatan “mengikat makna”, tidak ada orang lain yang ikut campur di situ. Anda sendirian. Anda hanya bergulat dengan diri Anda meskipun Anda membaca dan menuliskan pikiran orang lain. Oleh sebab itu, ketika Anda menjalankan kegiatan “mengikat makna”, gunakanlah kata ganti orang pertama. Diharapkan ketika Anda menuliskan bahan tulisan Anda, diri Anda benar-benar Anda libatkan secara total!
***
Teknik ”clustering” ditemukan oleh Dr. Gabriele L. Rico. Dr. Rico mengembangkan teknik ini dari metode ”mind mapping” (pemetaan pikiran) temuan Tony Buzan. Di samping memanfaatkan dua belahan otak yang bekerja dengan cara berbeda, yaitu otak kanan dan otak kiri, Dr. Rico memanfaatkan ”jembatan” yang menghubungkan antara dua belahan itu yang disebut ”corpus callosum”. Menulis yang baik memang harus menggunakan dua belahan otak atau mengaktifkan ”corpus callosum”.
Ide itu sesungguhnya pasti dimiliki oleh setiap penulis. Hanya, kadang ide yang dimiliki seorang penulis itu bukan merupakan ide yang cemerlang. Jika ide itu hanya berupa ide biasa, tentulah si penulis perlu mengembangkan ide tersebut menjadi ide yang kaya dan sangat ”powerful”. Nah, saya sering menggunakan teknik ”clustering” ini untuk mengembangkan ide yang biasa-biasa saja menjadi ide yang hebat.
Hanya, sebelum menggunakan teknik ”clustering” ini, perlu diperhatikan oleh setiap penulis bahwa di dalam sebentuk ide, ada dua sisi yang harus diperhatikan. Sisi pertama adalah sisi bahasa, dan sisi kedua adalah sisi materi (content). Ide hanya akan dapat dikembangkan jika si penulis memiliki kekayaan kata. Jika si penulis miskin bahasa, ide tersebut tentu tidak akan dapat dikembangkan (atau dibahasakan) lewat rumusan yang dahsyat.
Ringkasnya, ide yang dahsyat tentu ditopang oleh kepemilikan bahasa yang sangat kaya dan beragam. Dalam bahasa saya, bahasa yang sangat kaya dan beragam itu saya sebut sebagai bahasa yang ”bergizi”. Dan untuk memiliki bahasa yang ”bergizi”, seorang penulis harus sudah terbiasa dan ”rakus” membaca buku-buku yang ”bergizi”. Buku-buku yang ”bergizi” adalah buku-buku yang memiliki bahasa-ungkap tulis yang sangat jernih (bening), menggerakkan (ketika membaca buku tersebut, pikiran yang membaca benar-benar sibuk dan berdecak kagum), dan menyentuh emosi (munculnya kegairahan dan keterlibatan ketika membaca buku tersebut).
Nah, metode ”clustering” itu baru akan efektif digunakan jika si pengguna memiliki kekayaan bahasa.
Sisi kedua yaitu sisi materi dari sebuah ide terkait dengan apakah materi yang dikandung oleh ide itu sudah digulati lama oleh si penulis atau belum. Jika ide itu baru muncul dan belum lama, tentu perlu ada pengembangan dan pemerkayaan. Lewat teknik ”clustering”, ide itu bisa dibuka dan dibuat bercabang-cabang. Dan kadang, sifat pengembangan ide ini benar-benar bebas memanfaatkan otak kanan. Bahkan, kadang pengembangan itu perlu tidak memenuhi logika (artinya, otak kiri ”dimatikan” fungsinya). Pokoknya apa saja yang dapat dihubungkan harus segera dihubungkan (dikaitkan).
Lantas, pengembangan itu tidak hanya berhenti pada pengembangan saja dalam bentuk ”peta pikiran” (mind map). Perlu dirumuskan secara per ”cluster” (kelompok). Artinya, si penulis atau si pengembang ide ini mulai mengait-ngaitkan antara cabang yang satu dengan cabang yang lain dalam bentuk tulisan, lalu hasil tulisan per kelompok itu disimpan. Pengembanganj ide perlu kesabaran dan ketelatenan tingkat tinggi. Jika macet, harus berhenti. Jangan dipaksakan untuk diteruskan. Ada kemungkinan pengembangan atau penulisannya dilanjutkan pada waktu yang lain.
Semoga bermanfaat.

source: sekolah-menulis

0 comments:

Post a Comment